'Rumah Susun' adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional dalam arah horizontal maupun vertical dan merupakan satuan-satuan
yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk
tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bersama, benda-bersama dan tanah
bersama.
Masing-masing memiliki batas-batas, ukuran dan luas yang jelas, karena sifat dan fungsinya harus dinikmati bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan. Pembangunan Rumah Susun (Rusun) seharusnya dibangun sesuai dengan tingkat keperluan dan kemampuan masyarakat terutama bagi yang berpenghasilan rendah. Rusun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah Negara atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembangunan Rusun berlandaskan pada azas kesejateraan umum, keadilan dan pemerataan, serta keserasian dan kesimbangan dalam perikehidupan, dengan bertujuan memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya.
Kepemilikan satuan Rusun dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang meliputi, hak atas bagian-bersama, benda-bersama, dan tanah-bersama, yang semuanya merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
Kepemilikan satuan Rusun dapat dimiliki dengan cara membayar tunai (cash) dan angsuran (kredit pemilikan rumah atau KPR). Dalam pengelolaannya, setelah Rusun yang ditempati sudah melunasi angsuran sesuai dengan perjanjian akad kredit yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (penghuni dan pengembang/pihak perbankan-red), maka penghuni Rusun wajib membentuk Persatuan Penghuni Rumah Susun (PPRS) dan diberikan kedudukan sebagai badan hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 19 ayat 1 dan ayat 2 Undang - Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Yang ketentuannya diatur dalam Perarturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 1988.
Apartemen Rakyat vs Rumah Susun (Rusun)
Istilah 'Apartemen Rakyat' yang kini sedang marak pembangunannya, ibarat dua sisi mata uang dengan Rumah Susun (Rusun), serupa tapi tak sama. Keberadaan Rusun jelas diatur dalam UU No. 16 Tahun 1985, sementara 'Apartemen Rakyat' hanya menunggangi. Karena sudah barang tentu masyarakat yang berpenghasilan rendah, sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang tentang tujuan pembangunan Rusun tidak dapat memilikinya.
Walaupun kedua-duanya mendapatkan subsidi dari pemerintah namun hakekatnya jauh berbeda. Karena Rusun memang dibangun benar-benar untuk masyarakat yang tinggal diwilayah kumuh dan berpenghasilan rendah (miskin), yang pada umumnya tidak mempunyai pekerjaan atau penghasilan tetap.
Sementara 'Apartemen Rakyat' dibangun untuk masyarakat yang berpenghasilan tetap dengan ketentuan gaji Rp.2,5 juta s/d Rp. 4,5 juta/bulan. Lalu bagaimana dengan masyarakat berpenghasilan rendah yang hanya Rp. 972.000,-/bulan (upah minimum provinsi atau UMP) dan pegawai negeri rendahan untuk dapat memiliki 'Apartemen Rakyat', kecil kemungkinannya mereka untuk dapat memiliki Rusun mewah ('Apartemen Rakyat') yang bersubsidi.
Oleh karena itu perlu kiranya kajian ulang pemisahan antara Rusun dan Apartemen agar tidak ada kerancuhan dalam pemberian subsidi kepada rakyat. UU yang mengatur Rusun sudah cukup memadahi, hanya saja penerapannya yang kurang maksimal. Terkadang peruntukannya tidak tepat sasaran.
Maka UU tentang Apartemen harus dibuat secara tersendiri agar subsidi kepada rakyat tidak dinikmati oleh orang-orang yang mampu. Ketegasan pemerintah dalam hal ini harus ada, mengingat masih banyaknya masyarakat perkotaan yang berpenghasilan rendah atau tidak mampu (miskin) yang tinggal dibantaran kali dan atau dipemukiman kumuh lainnya yang membutuhkan Rusun dapat teratasi.
Sehingga program Rusun yang sedang digalakan oleh pemerintah dapat berhasil dan tepat sasaran. Jika UU Apartemen tidak dibuat secara tersendiri jangan pernah berharap program nasional pembagnunan Rusun akan dapat berhasil, bahkan cenderung dimanfaatkan oleh para koruptor dan investor nakal kemudahan-kemudahan fasilitas pembangunan Rusun dan subsidi rakyat untuk mengeruk keuntungan materi belaka.
'Apartemen Rakyat' terkesan permainan para pejabat dan investor nakal yang hanya ingin memanfaatkan UU Rusun, tapi pada prakteknya tetap saja yang dapat menikmati hanya kelompok orang-orang berduit saja. Sementara mereka yang miskin tidak dapat menikmati, padahal hak-hak mereka dilindungi oleh undang-undang. Kerancuan antara Apartemen Rakyat dan Rumah Susun harus segera dijawab dengan sikap tegas Pemerintah, jangan ada kesan ambivalensi didalam menjawab persoalan ini.
PPRS Tidak Sama Dengan RT
Menanggapi pernyataan Kementerian Negara Perumahan Rakyat RI Yusuf Asya'ri yang mengatakan, sah-sah saja keberadaan PPRS mengawasi warga, sebab lembaga itu berfungsi tidak ubahnya Rukun Tetangga atau RT. Hanya saja kalau RT untuk landed house, sementara PPRS untuk bangunan vertical. Fungsi pengawasan RT seperti wajib lapor bagi tamu, seharusnya juga dapat diberlakukan PPRS (Kompas, 11/4). Atas dasar apa Kemenpera Yusuf Asya'ri mengatakan demikian. Karena Kedudukan PPRS dan RT saja sudah jauh berbeda, apalagi tugas pokok dan fungsinya (tupoksi).
Dalam lingkungan Rusun selain terdapat PPRS juga terdapat RW atau Rukun Warga (apabila memenuhi syarat administrative yang ditentukan Pemda, dalam hal jumlah penduduk atau warga penghuni) dan RT.
Namun satu sama lain, khususnya PPRS memiliki kewenangan yang lebih jauh dalam hal pengelolaan Rusun, sementara fungsi pengawasan seperti wajib lapor bagi tamu adalah tetap dipegang oleh RT (Perwakilan Antar Blok atau PAB) yang nota bene juga sebagai anggota PPRS. Jika terjadi tumpang tindih maka akan berdampak pada pelayanan administrasi warga menjadi bertabrakan sehingga menimbulkan kebingungan warga, karena ada dualisme pelayanan administrasi.
Jangan melakukan pendangkalan terhadap tupoksi PPRS, karena PPRS memiliki peran yang strategis dalam pengelolaan Rusun. Biarkan RW dan RT menjalankan fungsinya sesuai dengan peraturan Pemda yang berlaku. Janganlah Negara melakukan 'Pembodohan Publik' kepada masyarakat awam, sudah selayaknya Negara melakukan pemberdayaan PPRS dalam tupoksi yang sesungguhnya, memberikan pembinaan-pembinaan sumberdaya manusia kearah pengelolaan Rusun yang mandiri, memberikan fasilitas atau sarana pendukung, serta meningkatkan taraf hidup ekonomi penghuni Rusun.
Maka program pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dahulu hidup dipemukiman kumuh yang kemudian direlokasi di Rusun dapat dinyatakan berhasil. 'Pembodohan Publik' yang dilegitimasi Negara akan mengakibatkan kebodohan yang permanent terhadap rakyat, sehingga rakyat terbelenggu oleh peraturan-peraturan yang sesungguhnya menguntungkan malah justeru jadi merugikan rakyat itu sendiri. Keberpihakan Negara terhadap rakyat harus segera dilakukan secara nyata (kongkrit), bukan sekedar basa-basi politik.
Walaupun kedua-duanya mendapatkan subsidi dari pemerintah namun hakekatnya jauh berbeda. Karena Rusun memang dibangun benar-benar untuk masyarakat yang tinggal diwilayah kumuh dan berpenghasilan rendah (miskin), yang pada umumnya tidak mempunyai pekerjaan atau penghasilan tetap.
Sementara 'Apartemen Rakyat' dibangun untuk masyarakat yang berpenghasilan tetap dengan ketentuan gaji Rp.2,5 juta s/d Rp. 4,5 juta/bulan. Lalu bagaimana dengan masyarakat berpenghasilan rendah yang hanya Rp. 972.000,-/bulan (upah minimum provinsi atau UMP) dan pegawai negeri rendahan untuk dapat memiliki 'Apartemen Rakyat', kecil kemungkinannya mereka untuk dapat memiliki Rusun mewah ('Apartemen Rakyat') yang bersubsidi. Oleh karena itu perlu kiranya kajian ulang pemisahan antara Rusun dan Apartemen agar tidak ada kerancuhan dalam pemberian subsidi kepada rakyat. UU yang mengatur Rusun sudah cukup memadahi, hanya saja penerapannya yang kurang maksimal. Terkadang peruntukannya tidak tepat sasaran.
Maka UU tentang Apartemen harus dibuat secara tersendiri agar subsidi kepada rakyat tidak dinikmati oleh orang-orang yang mampu. Ketegasan pemerintah dalam hal ini harus ada, mengingat masih banyaknya masyarakat perkotaan yang berpenghasilan rendah atau tidak mampu (miskin) yang tinggal dibantaran kali dan atau dipemukiman kumuh lainnya yang membutuhkan Rusun dapat teratasi.
Sehingga program Rusun yang sedang digalakan oleh pemerintah dapat berhasil dan tepat sasaran. Jika UU Apartemen tidak dibuat secara tersendiri jangan pernah berharap program nasional pembagnunan Rusun akan dapat berhasil, bahkan cenderung dimanfaatkan oleh para koruptor dan investor nakal kemudahan-kemudahan fasilitas pembangunan Rusun dan subsidi rakyat untuk mengeruk keuntungan materi belaka.
'Apartemen Rakyat' terkesan permainan para pejabat dan investor nakal yang hanya ingin memanfaatkan UU Rusun, tapi pada prakteknya tetap saja yang dapat menikmati hanya kelompok orang-orang berduit saja. Sementara mereka yang miskin tidak dapat menikmati, padahal hak-hak mereka dilindungi oleh undang-undang. Kerancuan antara Apartemen Rakyat dan Rumah Susun harus segera dijawab dengan sikap tegas Pemerintah, jangan ada kesan ambivalensi didalam menjawab persoalan ini. PPRS Tidak Sama Dengan RT Menanggapi pernyataan Kementerian Negara Perumahan Rakyat RI Yusuf Asya'ri yang mengatakan, sah-sah saja keberadaan PPRS mengawasi warga, sebab lembaga itu berfungsi tidak ubahnya Rukun Tetangga atau RT. Hanya saja kalau RT untuk landed house, sementara PPRS untuk bangunan vertical. Fungsi pengawasan RT seperti wajib lapor bagi tamu, seharusnya juga dapat diberlakukan PPRS (Kompas, 11/4). Atas dasar apa Kemenpera Yusuf Asya'ri mengatakan demikian. Karena Kedudukan PPRS dan RT saja sudah jauh berbeda, apalagi tugas pokok dan fungsinya (tupoksi). Dalam lingkungan Rusun selain terdapat PPRS juga terdapat RW atau Rukun Warga (apabila memenuhi syarat administrative yang ditentukan Pemda, dalam hal jumlah penduduk atau warga penghuni) dan RT.
Namun satu sama lain, khususnya PPRS memiliki kewenangan yang lebih jauh dalam hal pengelolaan Rusun, sementara fungsi pengawasan seperti wajib lapor bagi tamu adalah tetap dipegang oleh RT (Perwakilan Antar Blok atau PAB) yang nota bene juga sebagai anggota PPRS. Jika terjadi tumpang tindih maka akan berdampak pada pelayanan administrasi warga menjadi bertabrakan sehingga menimbulkan kebingungan warga, karena ada dualisme pelayanan administrasi. Jangan melakukan pendangkalan terhadap tupoksi PPRS, karena PPRS memiliki peran yang strategis dalam pengelolaan Rusun. Biarkan RW dan RT menjalankan fungsinya sesuai dengan peraturan Pemda yang berlaku. Janganlah Negara melakukan 'Pembodohan Publik' kepada masyarakat awam, sudah selayaknya Negara melakukan pemberdayaan PPRS dalam tupoksi yang sesungguhnya, memberikan pembinaan-pembinaan sumberdaya manusia kearah pengelolaan Rusun yang mandiri, memberikan fasilitas atau sarana pendukung, serta meningkatkan taraf hidup ekonomi penghuni Rusun.
Maka program pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dahulu hidup dipemukiman kumuh yang kemudian direlokasi di Rusun dapat dinyatakan berhasil. 'Pembodohan Publik' yang dilegitimasi Negara akan mengakibatkan kebodohan yang permanent terhadap rakyat, sehingga rakyat terbelenggu oleh peraturan-peraturan yang sesungguhnya menguntungkan malah justeru jadi merugikan rakyat itu sendiri. Keberpihakan Negara terhadap rakyat harus segera dilakukan secara nyata (kongkrit), bukan sekedar basa-basi politik.
http://muicpresent.blogspot.com/2011/05/pengertian-rumah-susun.html
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-15548-3308202011-Chapter1.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar